Menjalani hari-hari sebagai mahasiswa magister profesi psikologi membuat saya hampir tak bisa merasakan apa itu "me time". Dahulu rasanya saat bekerja saya masih meluangkan waktu saya sabtu minggu bermain, bersilaturahmi dengan keluarga ataupun sekedar duduk sambil menggambar atau menulis di dalam buku saya. Sayangnya, momen akan kesendirian itu semakin hilang sampai sekarang ini. "Me time" adalah waktu yang mungkin bagi saya sangat berharga saat ini. Sibuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan presentasi tugas, berjibaku di perpustakaan demi menyelesaikan paper tugas yang tak kunjung usai sungguh membuat saya semakin menghargai waktu sendiri.
Tradisi "me time" sendiri saya temukan saat saya berada di sebuah pelatihan kurang lebih tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu saya semakin tau bahwa sungguh penting menikmati dunia sendiri tanpa ada yang mengganggu. Kemudian istilah ini semakin saya temukan saat masuk ke dunia kerja dan semakin kaya akan istilah ini saat memasuki bangku mahasiswa profesi saat ini. Beberapa minggu lalu, saya kedatangan sorang praktisi yang menyebut dirinya praktisi mindfullness. Mindfullness sendiri merupakan sebuah ilmu baru yang menjelaskan pentingnya memberikan ruang dan waktu bagi diri kita sendiri untuk merasakan apa yang kita sadari saat ini, apa yang kita dengar saat ini dan menyadari bagaimana fisik kita saat ini. Ilmu ini mengajarkan kita untuk lebih sadar akan apa yang kita lakukan saat ini. Fokus. Ya itu kata yang tepat untuk menggambarkan ilmu ini. Sebenarnya saya pernah juga membaca buku dengan konsep ini oleh salah seorang penulis dan praktisi mindfullness Adji Silarus. Buku tersebut juga mengajarkan saya makna untuk fokus dengan apa yang kita rasakan saat ini.
Sungguh rasanya setelah mengarungi semester ini, saya ingin mencari tempat teduh tanpa ada keramaian dan ingin merasakan suara alam dan suara denyut jantung saya sendiri. Saya ingin melepaskan semua beban dalam pikiran saya. Ingin mencoba menjadi orang yang tak mau salah menyikapi suatu hal. Ingin tenang. Mencoba berteman dengan segala hal yang saya hadapi. Mungkin keluarga saya beranggapan bahwa saya adalah anak yang selalu bergembira dan selalu menemukan energi dari diri orang lain alias extrovert. Sayang sekali tapi asumsi itu sudah tak berlaku sekarang. Semakin dewasa saya, saya semakin tenang dengan kesendirian yang saya hadapi. Saya kangen menyendiri. Saya kangen melihat teduhnya alam. Melihat matahari pagi dari pegunungan. Melupakan semua beban. Menikmati ciptaan tuhan. Bersyukur. Kemudian baru memulai babak baru hidup berikutnya.
Sebenarnya ingin sekali pulang ke rumah, menikmati masakan mamak. Berenang bersama ayah. Menikmati ceramah minggu di mesjid. Sarapan pagi di rumah nenek. Siang bermain bersama keponakan. Rasanya sungguh manis setiap hal ada di rumah. Namun, beberapa tahun ini pulang ke rumah rasanya membuat saya semakin banyak kepikiran. Menikah. Calon yang sudah menanti. Tinggal mengatakan iya. Membuat saya semakin was-was untuk pulang. Belum lagi hasil semester yang keluar saat liburan. Membuat beban bagi saya pribadi.
Rasanya ingin sekali liburan tapi tak memikirkan hal itu. Kalau kata keluarga besar saya, menikahlah biar bisa liburan dengan pasangan. Sungguh lucu ya. Yang ditanya liburan yang dikasih pikiran. Hahaha. Bukan tak mau menikah cepat. Tapi saya cukup tau pribadi saya belum mampu mengurus suami atau pasangan dikala tugas buat bergadang lebih penting dari pada membuat masakan untuk suami. Apa kata mertua kalau menantunya tak bisa mengurus anaknya. Hahaha. Ironi. Tapi memang itu realistis. Baru kemarin saya bergadang di apartemen teman saya untuk mengerjakan laporan alat ukur dan hanya menggunakan 2 jam untuk waktu tidur. Masih sempat nguru suami lagi? Hahahaha. Memang hebat ada yang bisa berumah tangga sambil menjalani mahasiswa profesi ini.
Baiklah, saya sepertinya kebanyakan curcol keluhan selama menjadi mahasiswa ya. Padahal kalau diingat dahulu dua tahun yang lalu saya begitu berjuang untuk mendapatkan bangku mahasiswa profesi ini. Mencoba apply di sebuah kampus ternama di Jogja kemudian hasilnya tak diterima. Alhasil saya "acceptance" menerima semua hal ini. Mengumpulkan energi lagi. Tak menyerah dan mencoba lagi di kampus ternama Jakarta. Alhamdulilah keterima dengan segala drama yang ada. Sungguh seharusnya saya tak boleh berkeluh kesah akan semua hal ini. Saya harus bersyukur karna diberi kesempatan mendapatkan ilmu dibangku profesi yang direbutkan oleh ratusan orang *pendaftar saat saya apply magister profesi di kampus saya sekarang.
Baiklah, saya selalu menghargai setiap perjuangan saya karenanya saya berusaha untuk mendapatkan hasil yang baik semester ini. Setelah semester ini berkahir, maka bolehkah saya menikmati liburan sejenak dengan tidak memikirkan beban hidup sebentar? Bolehkah saya tak memikirkan tuntutan hidup seperti "menikah" dulu? Bolehkah saya "me time" untuk merasakan apa yang sudah saya dapati saat ini? Bolehkah saya "mindfullness" untuk memberikan kesadaran kepada diri saya agar lebih banyak bersyukur dengan apa yang sudah diberikan tuhan?
Maka, rasanya setiap ketikan dalam tulisan ini membuat saya semakin bisa mengeluarkan elemen-elemen negatif dari diri saya. Penat dan keluh dalam pikiran saya. Beban yang terasa tak berakhir di setiap hari saya. Semoga bulan desember ini saya bisa menemukan hari sendiri untuk menikmati hidup saya. Hmm, me time dimana ya enaknya? ke bandung terus main ke bukit sendiri? atau me time di depok aja? sambil nangkring di danau kampus menuliskan refleksi hidup selama semester ini?
Intiny saya rindu bisa seperti ini